Kamis, 11 Februari 2016

[REVIEW BOOKS] Pertanyaan-pertanyaan dalam sebuah Perjalanan




Judul Buku : Rindu
 Penulis : Tere Liye
 ISBN : 978 – 602 – 8997 – 90 – 4
 Penerbit : Republika Editor /Penyelaras Kata: Andriyati
 Desain cover : EMTE
 Layout : Alfian
 Cetakan : XVI, Juni 2015
 Tebal : 544 Halaman


Sinopsis:

“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan?
Apalah arti cinta,

Ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tidak menuntut apa pun?

Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja.”

Ini adalah kisah tentang masa lalu yang memilukan. Tentang kebencian kepada seseorang yang seharusnya disayangi. Tentang kehilangan kekasih hati. Tentang cinta sejati. Tentang kemunafikan. Lima kisah dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan.
 
Resensi :

Karya-karya Tere Liye adalah karya-karya yang selalu menarik untuk dibaca. Saya sendiri sudah jatuh cinta pada tulisan-tulisan Tere Liye sejak pertama kali melihat postingan-postingannya di FanPage miliknya. Sejak saat itu saya selalu tertarik untuk membaca apapun karya Tere Liye. Termasuk novelnya. Di rumah saya sudah memiliki 3 Novel Tere Liye. Dan novel Rindu ini adalah novel ketiga yang saya punya.

Dan dalam tulisan kali ini saya hanya akan menuliskan Jawaban-jawaban dari kelima pertanyaan dari 5 kisah yang berbeda dalam novel ini. Karena bagi saya, jawaban-jawaban ini adalah nasehat yang sungguh indah dan bisa dijadikan bahan renungan bagi diri sendiri.

Dan baiklah saya akan memulainya….

Novel ini menceritakan tentang sebuah perjalanan besar. Perjalanan tersebut menggunakan kapal BLITAR HOLLAND. Kapal BLITAR HOLLAND dibuat di Eropa tahun 1923. Dimiliki oleh salah satu raksasa perusahaan logistik dan transportasi besar asal Belanda, Koninklijke Rotterdam.

Hari itu, 1 Desember 1938, sebuah perjalanan besar telah dimulai. Dan sebagaimana lazimnya sebuah perjalanan, selalu disertai dengan pertanyaan-pertanyaan. Dan pertanyaan-pertanyaan dalam perjalanan tersebut datang dari 5 kisah yang berbeda. 5 kisah yang menyimpan sejuta tanya untuk dijawab.

Kisah pertama sekaligus pertanyaan pertama yang terjawab dalam Novel ini adalah kisah dari Bonda Upe. Bonda Upe adalah seorang guru mengaji berusia 40 tahun. Ia tinggal di kota Palu bersama suaminya.  Bonda Upe memutuskan membantu untuk mengajari anak-anak belajar mengaji selama di kapal. Awalnya semua berjalan lancar, hingga kemudian ada satu kejadian yang membuat Bonda Upe mengurung diri di kabin mereka. Dan karena kejadian itulah, akhirnya sebuah pertanyaan yang selama ini menganggu fikiran Bonda Upe terjawab. Dan jawaban itu datang dari seorang bernama Gurutta Ahmad Karaeng.

Pertanyaan dari Bonda Upe bisa dibaca sendiri dalam Novel Ini. Karena pertanyaan itu sekaligus menceritakan kisah hidup Bonda Upe. Saya hanya akan menuliskan jawaban dari Gurutta. Dan Seperti inilah jawaban dari Gurutta atas pertanyaan Bonda Upe :

“Tapi sebelum aku menjawabnya, izinkan aku menyampaikan rasa simpati yang mendalam atas kehidupanmu yang berat dan menyesakkan. Tidak semua orang sanggup menjalaninya. Maka saat itu ditakdirkan kepada kita, Insya Allah karena kita mampu memikulnya.”

“Baiklah, aku akan membahasnya menjadi tiga bagian. Tidak terpisahkan satu sama lain. Kau pahami ketiga-tiganya. Semoga itu membantu memberikan lampu kecil dalam kehidupanmu.”

“Bagian yang pertama, kita keliru sekali jika lari dari sebuah kenyataan hidup, Nak. Aku tahu, lima belas tahun menjadi pelacur adalah nista yang tidak terbayangkan. Tapi sungguh kalau kau berusaha lari dari kenyataan itu, kau hanya menyulitkan diri sendiri. Ketahuilah, semakin keras kau berusaha lari, maka semakin kuat cengkramannya. Semakin kencang kau berteriak melawan, maka semakin kencang pula gemanya memantul, memantul, dan memantul lagi memebuhi kepala.”

“Sayangnya, kau justru melakukan hal tersebut. Kekeliruan paling mendasar yang dilakukan orang-orang saat menghadapi kenyataan hidup, masa lalunya yang pedih. Kau ikut Enlai pindah ke Palu. Buat apa? Lari. Kau menghindari bergaul dengan orang lain, misalnya dengan enggan makan di kantin kapal. Buat apa? Lari. Hanya waktu-waktu tertentu, seperti shalat, mengajar anak-anak mengaji kau bisa menerimanya dengan lapang. Tapi itu sebentar saja. Sisanya kau lari dari kenyataan.”

“Kita tidak bisa melakukan itu, Upe. Tidak bisa. Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua ksiah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia akan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.”

“Apakah mudah melakukannya? Itu sulit. Tapi bukan berarti mustahil. Di sebelahmu saat ini, ada seseorang yang dengan brilian berhasil melakukannya. Enlai. Dia berhasil menerimamu apa adanya, Nak. Dia tulus menyemangatimu, tulus mencintaimu. Padahal dia tahu persis kau seorang cabo. Sedikit sekali laki-laki yang bisa menyayangi bekas seorang cabo. Tapi Enlai bisa, karena dia menerima kenyataan itu. Dia peluk erat sekali. Dia bahkan tidak menyerah meski kau telah menyerah. Dia bahkan tidak berhenti meski kau telah berhenti.”

“Bagian yang kedua, tentang penilaian orang lain, tentang cemas diketahui orang lain siapa kau sebenarnya. Maka ketahuilah, Nak, saat kita tertawa, hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan. Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi kita sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hana melihat luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain.”

“Kita tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu siap pun mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya diri kita sendiri. Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.”

“Kita tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapapun bahwa kita itu baik. Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan penilain orang lain. Karena toh, kalaupun orang lain menganggap kita demikian, pada akhirnya tetao kita sendiri yang tahu persis apakah kita memang sebaik itu.”

“Besok lusa, mungkin ada saja penumpang kapal yang tahu kau bekas seorang cabo. Tapi buat apa dicemaskan? Saudaramu sesama muslim, jika dia tahu, maka dia akan menutup aibmu. Karena Allah menjanjikan barang siapa yang menutup aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Itu janji yang hebat sekali. Kalaupun ada saudara kita yang tetap membahasnya, mengungkitnya, kita tidak perlu berkecil hati. Abaikan saja. Dia melakukan itu karena ilmunya dangkal. Doakan saja semoga besok lusa dia paham.”

“Bagian yang ketiga, terakhir, apakah Allah akan menerima seorang pelacur di Tanah Suci? Jawabannya hanya Allah yang tahu. Kita tidak bsia menebak, menduga, memaksa, merajuk, dan sebagainya. Itu hak penuh Allah. Tapi ketahuilah, nak, ada sebuah kisah shahih dari Nabi kita. Mungkin itu akan membuatmu menjadi lebih mantap.”

“Izinkan orang tua ini mengutip dalil agama kita. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, ‘Suatu saat ada seekor anjing yang berputar-putar di sekitar sumur. Anjing itu hampir mati akrena kehausan, dan dia tidak bisa mengambil air di dalam sumur. Kemudian, datanglah seorang pelacur dari Bani Israil yang melihat anjing itu. Pelacur itu melepas sepatunya dan mengambilkan air untuk anjing itu, dan ia pun meminumkannya kepada anjing itu. Maka, diampunilah dosa pelacur itu lantaran perbuatannya itu.”

“Apakah Allah akan menerima haji seorang pelacur? Hanya Allah yang tahu. Kita hanya bisa berharap dan takut. Senantiasa berharap atas ampunannya. Selalu takut atas azabnya. Belajarlah dari riwayat itu. Selalulah berbuat baik, Upe. Selalu. Maka semoga besok lusa, ada satu perbuatan baikmu yang menjadi sebab kau diampuni. Mengajar anak-anak mengaji misalnya, boleh jadi itu adalah sebabnya.”

“Pahamilah tiga hal itu, Nak, Semoga hati kau menjadi lebih tenang. Berhenti lari dari kenyataan hidupmu. Berhenti cemas atas penilaian orang lain, dan mulailah berbuat baik sebanyak mungkin.”

Bonda Upe mengangkat wajahnya. Berlinang air mata, menatap Gurutta penuh rasa terima kasih. Hatinya sudah lapang sekarang. Seluruh batu-batu besar yang menghimpit hatinya berguguran.



Pertanyaan Kedua datang dari Daeng Andipati. Daeng Andipati adalah seorang Pedagang di Kota Makassar. Ia adalah sosok yang baik & pintar. Memiliki 2 orang anak perempuan yang cantik, juga istri yang baik. Sekilas, kehidupan Daeng Andipati nampak sempurna. Tapi, siapa sangka ternyata ia menyimpan satu pertanyaan besar dalam hidupnya. Dan pertanyaan itu ada di dalam novel Rindu ini, silahkan baca sendiri, hehehe. Saya hanya akan menuliskan jawaban atas pertanyaan itu yang lagi-lagi berhasil dijawab oleh Gurutta.

“Selalu menyakitkan saat kita membenci sesuatu. Apalagi jika itu ternyata membenci orang yang seharusnya kita sayangi. Suami istri saling membenci. Anak membenci orang tuanya, atau sebaliknya, orang tua membenci anaknya. Kakak membenci adiknya, adik membenci kakaknya. Satu-dua itu hanya kebencian biasa. Tapi tidak sedikit seperti yang kau alami, kebencian luar biasa. Satu-dua hanya karena hal sepele. tapi tidak sedikit seperti keluarga kalian, karena rasa sakit yang terlalu lama, karena perbuatan yang memang tidak dibenarkan.”

“Lantas bagaimana mengatasinya, setelah bertahun-tahun racun kebencian itu mengendap di seluruh tubuh kita? Bagaimana membersihkannya? Aku tidak tahu jawaban pastinya. Tapi izinkan orang tua ini menjelaskan tiga bagian yang tidak terpisahkan satu sama lain. Pahami ketiga bagian ini, pikirkan dengan bai, maka semoga kau punya lampu terang. Mungkin masih kecil nyala lampunya. Tapi percayalah, sepanjang kau mau membesarkan nyala lampu itu, dia cuku untuk memberikan petunjuk bagi kau esok lusa.”

Gurutta berhenti sejenak. Menatap lembut Daeng Andipati di hadapannya.

“Bagian yang pertama adalah, ketahuilah, Andi, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri saat membenci orang lain. Ketika ada orang jahat, membuat kerusakan di muka bumi, misalnya, apakah Allah langsung mengirimkan petir untuk menyambar orang itu? Nyatanya tidak. Bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu diberikan begitu banyak kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah tidak langsung menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya? Itu hak mutlak Allah. Karena keadilan Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang kita tidak selalu paham.”

“Ada orang-orang yang kita benci. Ada pula orang-orang yang kita sukai. Hilir-mudik datang dalam kehidupan kita. Tapi apakah kita berhak membenci orang lain? Sedangkan Allah sendiri tidak mengirimkan petir segera? Misalnya pada ayah kau, seolah tiada namak hukuman di muka bumi baginya. Aku tidak tahu jawabannya. Tapi coba pikirkan hal ini. Pikirkan dalam-dalam, kenapa kita harus benci? Kenapa? Padahal kita bisa saja mengatur hati kita, bilang saya tidak akan membencinya. Toh itu hati kita sendiri. Kita berkuasa penuh mengatur-aturnya. Kenapa kita tetap memutuskan membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang lain, kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri.”

“Kau benci ayahmu, Nak, karena kau membenci dirimu sendiri yang tidak kuasa mencegahnya berbuat kasar pada ibumu. Kau membenci ayahmu karena kau membenci diri sendiri yang tidak mampu menghentikan, bahkan mengubah perilaku jahat ayahmu. Mau bagaimana pun, dia tetap ayahmu. Dan yang menariknya, apakah ibumu membenci ayahmu? Dia ternyata memilih tidak. Dia memilih tetap setia berada di sisi suaminya. Meski dipukul, ditendang, dijambak, ibumu memilih tetap menyayanginya. Kau tidak bisa memahami jalan pikiran ibumu karena bertolak belakang sekali. Tapi bagi ibumu, dia mudah sekali memahami keputusannya. Dia tidak membeci dirinya yang telah keliru menikah. Tidak membenci dirinya yang tetap bertahan, kenapa tidak sejak dulu pergi. Dia tidak benci itu semua. Dia terima sepenuh hati, maka dia bisa bahagia atas pilihannya. Boleh jadi, tidak sedetik pun dia benci dengan suaminya. Kenaa kau memilih benci? Sedangkan ibumu tidak? Kenapa kau memilih benci, sedangkan orang lain memilih berdamai dengan situasi di sekitarnya? Pikirkanlah!”

“Bagian yang kedua adalah terkait dengan berdamai tadi. Ketahuilah, Nak, saat kita memutuskan memafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.”

“Sungguh kita berhak atas kedamaian di dalam hati, Andi.” Gurutta mengulang kalimatnya dengan lembut sekali lagi, yang bahkan Ambo uleng pun iktu tertunduk, sesak mendengarnya.

Daeng Andipati tergugu. Matanya berkaca-kaca. Kedamaian itulah yang tidak pernah datang ke dalam hatinya.

“Maafkanlah ayahmu, Nak. Hanya dengan itu kita bisa merengkuh kedamaian. Dalam agama kita banyak sekali perintah agar kita senantiasa memaafkan. Ditulis indah dalam kitab suci, diwasiatkan langsung oleh Nabi. Keburukan bisa dibalas dengan keburukan, tapi sungguh besar balasan Allah, jika kita memilih memaafkan. Lihatlah, bahkan Allah tidak mengirim petir bagi Daeng Patoto, karena boleh jadi, Allah masih memberikan maaf di dunia ini, menangguhkan hukuman. Kau berhak atas kedamaian di hatimu. Maafkanlah seperti ibumu yang memilih memafkan suaminya. Maafkanlah seperti ibumu yang hingga akhir hayatnya tetap berdiri di samping suaminya. Tidak pergi walau selangkah. Tidak mundur walau sejengkal.”

“Itu benar sekali, Gurutta. Itu benar….” Daeng Andipati terisak.
Seseorang yang jalan hidupnya terjal dan keras itu akhirnya mengangguk. Aduhai, ia lalai sekali melihat betapa dekat penjelasan ini. Ia abai memahami ibunya selama ini. Bukankah tidak sedetik pun ia terlihat marah atau bersedih hati setiap kali dipukuli ayahnya. Ibunya tetap tersenyum, menenangkan anak-anaknya. Saat usianya lima belas, saat ibunya dipukuli sebelum meninggal, ibunya bahkan menghibur dirinya, berbisik, “Kau jangan menangis, Andi. Anak laki-laki ibu tidak ada yang menangis.”

Kantin lengang sejenak, menyisakan isak pelan Daeng Andipati.

“Bagian yang ketiga, terakhir, bagian yang sangat penting karena kau punya perangai keras kepala, tidak mudah menyerah, dan selalu menyiman sendirian semuanya. Maka ketahuilah, Andi, kesalahan itu ibarat halaman kosong. Tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan keliru. Kita bisa memaafkannya dengan menghapus tulisan tersebut, baik dengan penghapus biasa, dengan penghapus canggih, dengan apa pun. tapi tetap tersisa bekasnya. Tidak akan hilang. Agar semuanya benar-benar bersih, hanya satu jalan keluarnya, bukalah lembaran kertas baru yang benar-benar kosong.”

“Buka lembaran baru, tutup lembaran yang pernah tercoret. Jangan diungkit-ungkit lagi. Jangan ada tapi, tapi, dan tapi. Tutup lembaran tidak menyenangkan itu. Apakah mudah melakukannya? Tidak mudah. Tapi jika kau sungguh-sungguh, jika kau berniat teguh, kau pasti bisa melakukannya. Mulailah hari ini. Mulailah detik ini. Berpuluh tahun kau terlambat melakukannya, Andi. Berpuluh tahun kau justru berkutat membolak-balik halaman itu, tidak pernah maju. Maka di atas kapal ini, berjanjilah kau akan menutup lembaran lama itu. Mulai membuka lembaran baru yang benar-benar kosong. Butuh waktu untuk melakukannya. Tapi aku percaya, saat kapal ini tiba di Jeddah, saat kau akhirnya berdiri menatap Masjidil Haram, hati kau sudah lapang seperti halaman baru. Kau tidak lagi membawa kebencian itu di tanah Suci. Karena tidak pantas, seorang anak membawa kebencian pada ayahnya di tanah Suci.”

“Pikirkanlah tiga hal tadi, Nak. Berhenti membenci ayahmu, karena kau sedang membenci diri sendiri. Berikanlah maaf karena kau berhak atas kedamaian dalam hati. Tutup lembaran lama yang penuh coretan keliru, bukalah lembaran baru. Semoga kau memiliki lampu kecil di hatimu.”




Pertanyaan ketiga dalam Novel ini datang dari Mbah Kakung. Mbah Kakung dan Mbah Putri adalah sepasang suami istri yang sudah 60 tahun menikah. Dikaruniai 12 orang anak. Mbah Kakung dan Mbah Putri adalah sepasang sepuh yang selalu tampak mesra.

Sebenarnya bagi Mbah Kakung, setelah pernikahannya dengan Mbah Putri, ia sudah tidak memiliki pertanyaan lagi. Karena ia sudah memiliki semua jawaban. Mbah Kakung mensyukuri setiap takdir hidupnya bersama Mbah Putri. Tapi akhirnya pertanyaan muncul di Kapal itu. Setelah ia kehilangan wanita yang sangat ia cintai (Mbah Putri). Dan pertanyaan dari Mbah Kakung, silahkan dibaca sendiri di dalam Novel ini. Saya hanya akan menuliskan jawaban dari Gurutta. Karena dari jawaban itu, kita bisa mengambil sebuah pelajaran.

“Yang pertama, lahir dan mati adalah takdir Allah. Kita tidak mampu mengetahuinya. Pun tiada kekuatan bisa menebaknya. Kita tidak bisa memilih orangtua, tanggal, tempat… tidak bisa. Itu hak mutlak Allah. Kita tidak bisa menunda, maupun memajukannya walau sedetik. Kenapa Mbah putrid harus meninggal di atas kapal ini? Allah yang tahu alasannya, Kang mas. Dan ketika kita tidak tahu, tidak mengerti alasannya, bukan berarti kita jadi membenci, tidak menyukai takdir tersebut. Amat terlarang bagi seorang muslim mendustakan takdir Allah.”

Mbah Kakung berkata lirih, “Aku tidak mendustakan takdir ini, Gurutta. Aku menerimanya. Aku ikhlas. Tapi kenapa harus sekarang?”

“kang Mas, Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Segala sesuatu yang kita anggap buruk, boleh jadi baik untuk kita. Sebaliknya, segala sesuatu yang kita anggap baik, boleh jadi amat buuk bagi kita.” Sejak tadi Gurutta berhati-hati sekali memilih kalimatnya. Ia tidak ingin menyinggung perasaan Mbah Kakung yang lebih tua darinya. Apalagi dalam kesedihan mendalam itu.

Mbah Kakung menunduk.

“Aku tahu, semua kalimatku indah dikatakan, mudah diucapkan, tapi susah dalam kenyataannya. Aku tahu itu, Kang Mas. Tapi bukan berarti kita mengabaikan begitu saja nasihat-nasihat dalam agama kita. Jika Kang Mas merasa berhak bertanya kenapa harus sekarang Mbah Putri meninggal, maka izinkan saya bertanya, kenapa tanggal 12 April 1878, Kang Mas harus berjumpa dengan seorang gadis cantik di pernikahan saudara. Kenapa pertemuan itu harus terjadi? Kenapa di tempat itu padahal ada berjuta tempat lain? Kenapa dengan Mbah Putri padahal ada berjuta pula gadis lain?”

Mbah Kakung mengangkat wajahnya, menatap Gurutta.

“Aku selalu ingat kalimat orang lain walau hanya sekali disampaikan.” Gurutta seperti tahu apa yang dipikirkan Mbak Kakung, yang bertanya lewat ekspresi wajah, kenapa Gurutta ingat tanggal itu, “Sejak kecil aku memiliki kebiasaan itu. Sebenarnya kadang mengganggu karena jadinya begitu banyak yang kuingat dalam percakapan selintas.”

“Tapi kembali lagi ke soal takdir tadi, mulailah menerimanya dengan lapang hati, Kang Mas. Karena kita mau menerima atau menolaknya, dia tetap terjadi. Takdir tidak pernah bertanya apa perasaan kita, apakah kita bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir bahkan basa-basi menyapa pun tidak. Tidak peduli. Nah, kabar baiknya, karena kita tidak bisa mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tidak berdaya. Kita tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya. Apakah bersedia menerimanya, atau mendustakannya.”

Mbah kakung terdiam, menatap lamat-lamat piring di atas meja.

“Yang kedua, biarkan waktu mengobati seluruh kesedihan, Kang Mas. Ketika kita tidak tahu mau melakukan apalagi, ketika kita merasa semua sudah hilang, musnah, habis sudah, maka itulah saatnya untuk membiarkan waktu menjadi obat terbaik. Hari demi hari akan menghapus selembar demi lembar kesedihan. Minggu demi minggu akan melepas sepapan demi sepapan kegelisahan. Bulan, tahun, maka rontok sudahlah bangunan kesedihan di dalam hati. Biarkan waktu mengobatinya, maka semoga kita mulai lapang hati menerimanya. Sambil terus mengisi hari-hari dengan baik dan positif.”

“Dalam Al-Qur’an, ditulis dengan sangat indah, minta tolonglah kepada sabar dan shalat. Kita disuruh melakukan itu, Kang Mas. Bagaimana mungkin sabar bisa menolong kita? Tentu saja bisa. Dalam situasi tertentu, sabar bahkan adalah penolong paling dahsyat. Tiada tekira. Dan shalat, itu penolong terbaik tiada tara. Aku senang mendengar kabar, meski Kang Mas menolak makan, tapi masih mau shalat tepat waktu. Itu berarti Kang Mas masih memiliki harapan, memiliki doa-doa. Sungguh beruntung orang-orang yang sabar dan senantiasa menegakkan shalat.”

Mbah Kakung terdiam, masih menatap piring nasi yang membisu.

“Yang ketiga, terakhir, mulailah memahami kejadian ini dari kacamata yang berbeda, agar lengkap. Apa itu? Sederhana penjelasannya. Mbah Putri meninggal di atas kapal. Mungkin kita melihatnya buruk. Tapi tidakkah kita mau melihat dari kacamata yang berbeda, Kang Mas, bahwa Mbah Putri meninggal di atas kapal yang menuju Tanah Suci, dan dia menghembuskan napas terakhirnya saat sedang shalat Shubuh.”

“Lihatlah dari kacamata itu, Kang Mas. Dari genapnya amal Mbah Putri. Jangan memaksakan melihatnya dari kacamata kita. Terus bersikeras, bertanya, tidak terima. Jika itu yang kita lakukan, maka kita akan terus kembali, kembali, dan kembali lagi ke posisi awal. Tidak pernah beranjak jauh. Lihatlah dari kacamata Mbah Putri yang genap menemani Kang Mas hingga Samudera Hindia. Dia telah menunaikan kewajibannya sebagai istri tercinta. Mbah Putri memang tidak menemani Kang Mas bergandengan tangan di depan Masjidil Haram, tapi amal perbuatan kita sudah dihitung sejak dari niat.”

Mbah Kakung tertunduk dalam. Usianya sudah depalan puluh tahun lebih, tapi ia telah abai sekali dengan penjelasan ini. Gurutta benar, ia harus melihat semua ini dari kacamata istrinya.

“Maka, akan kusimpulkan kembali, Kang Mas. Yang pertama, yakinilah kematian Mbah Putria adalah takdir Allah yang terbaik. Yang kedua, biarkan waktu mengobati semua kesedihan. Yang ketiga, lihatlah penjelasan ini dari kacamata yang berbeda. Semoga tiga hal itu bisa Kang Mas pikirkan, dan membantu menghibur penat di dalam hati.”




Pertanyaan keempat datang dari seorang pemuda bernama Ambo uleng. Usianya 24 tahun. Rahang dan pipinya tegas, khas seorang pelaut Bugis yang tangguh. Ia mendaftar sebagai Kelasi di Kapal BLITAR HOLLAND. Padahal sebelumnya ia bekerja di kapal Phinisi Pare-pare sebagai Juru Mudi pertama. Alasannya berhenti bekerja di Kapal Phinisi dan memilih untuk mendaftar di Kapal BLITAR HOLLAND adalah karena ia ingin pergi sejauh mungkin. Sama seperti ketiga kisah sebelumnya, Ambo Uleng juag menyimpan pertanyaan besar dalam hidupnya. Dan akhirnya pertanyaan itu kembali terjawab oleh gurutta Ahmad Karaeng.

“Kau pemuda malang yang terpagut harapan, terjerat keinginan memiliki, dan terperangkap kehilangan seseorang yang kau sayangi, Nak. Tiga hal itu ada di dirimu sekarang. Harapan itu belum padam, sejauh apa pun kau pergi. Pun keinginan memiliki itu belum punah, sekuat apapun kau mengenyahkannya. Dan terakhir, kehilangan itu justru mulai mewujud dan nyata. Setiap hari, semakin nampak wujudnya, semakian nyata kehilangannya.”

“Apakah cinta sejati itu? Maka jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta sejati adalah melepaskan. Semakian sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil yang menghanyutkan botol tertutup di lautan, dilepas dengan rasa suka-cita. Aku tahu, kau akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik yang tidak pernah dipahami para pecinta. Mereka tidak pernah mau mencoba memahami penjelasannya, tidak bersedia.”

“Lepaskanlah, Ambo. Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Hei, Ambo, kisah-kisah cinta di dalam buku itu, di dongeng-dongeng cinta, atau hikayat orang tua, itu semua ada penulisnya. Tapi kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.”

“Dengan meyakini itu, maka tidak mengapa kalau kau patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau menangis tergugu karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri. Tidak melanggar batas, tidak melewati kaidah agama. Karena esok lusa, ada orang yang mengaku cinta, tapi dia melakukan begitu banyak maksiat, menginjak-injak semua peraturan dalam agama, menodai cinta itu sendiri. Cinta itu ibarat bibit tanaman. Jika dia tumbuh di tanah yang subur, disiram dengan pupuk pemahaman baik, dirawat dengan menjaga diri, maka tumbuhlah dia menjadi pohon yang berbuah lebat dan lezat. Tapi jika bibit itu tumbuh di tanah yang kering, disiram denagn racun maksiat, dirawat dengan niat jelek, maka tumbuhlah dia menjadi pohon meranggas, berduri, berbuah pahit.”

“Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri, sibukkan dengan belajar. Kau sudah melakukannya sejak terjebak di ruangan kecil antara hidup dan mati. Kau mulai belajar ilmu agama. Kau juga belajar tentang kapal uap ni. Dan kelebihan kau yang paling utama adalah kau senantiasa berbuat baik kepada siapapun. Maka teruslah menjadi orang baik seperti itu. Insya Allah, besok lusa, Allah sendiri yang akan menyingkapkan misteri takdirnya.”

“Sekali kau bisa mengendalikan harapan dan keinginan memiliki, maka sebesar apapun wujud kehilangan, kau akan siap menghadapinya, Ambo. Kau siap menghadapi kenyataan apapun. Jikapun kau akhirnya tidak memiliki gadis itu, besok lusa kau akan memperoleh pengganti yang lebih baik.”

“Lihatlah orang tua ini, Ambo. Sekembali dari Damaskus, menetap di Makassar, aku juga menemukan cinta baruku, Ambo. Aku kira aku tidak bisa mencintai lagi. Ternyata tidak. Aku menikah dengan gadis lain di Makassar. Kami dikaruniai enam anak laki-laki, yang sekarang sudah besar semua. Istriku meninggal lima tahun lalu, setelah pernikahan tiga puluh tahun lebih. Aku mencintai istriku sama besarnya seperti aku dulu mencintai Cut Keumala. Aku menemukan cinta yang baru. Maka jangan berkecil hati, jika gadis itu bukan jodohmu, kau akan memperoleh cinta yang lebih baik, Nak. Yakinilah.”




Pertanyaan kelima, sekaligus pertanyaan terakhir dalam Novel ini datang bukan dari penumpang biasa, melainkan datang dari seorang ulama masyhur. Orang yang selama ini jadi tempat bertanya. Orang yang selama ini bisa menjawab seluruh pertanyaan.

“Gurutta, kita tidak akan pernah bisa meraih kebebasan kita tanpa peperangan! Tidak bisa. Kita harus melawan. Dengan air mata dan darah.” Ambo Uleng menggenggam lengan Gurutta.

“Aku tahu, sejak kejadian di Aceh, meninggalnya Syekh Raniri dan Cut Keumala, sejak saat itu Gurutta berjanji tidak akan menggunakan kekerasan lagi. Melawan lewat kalimat lembut, tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut duri di kaki kita dengan itu, Gurutta. Kita harus mencabutnya dengan tangan. Sakit memang, tapi harus dilakukan.”

“Aku tahu, Gurutta tidak mau lagi kehilangan orang-orang yang Gurutta sayangi, tapi kebebasan pantas dibayar dengan nyawa. Aku membutuhkan Gurutta dalam rencana ini. Pesan itu harus ditulis oleh Gurutta agar penumpang gagah berani. Mereka akan memperoleh berlipat kekuatan jika pesan itu ditulis atas nama Gurutta. Mereka akan mematuhi setiap pesan yang Gurutta tuliskan.”

Gurutta menggeleng, “Dan pesan itu akan membawa mereka kepada kematian, Nak.”

Ambo Uleng terdiam.

Gurutta mendongak, menatap langit-langit ruangan. Lihatla ya Rabbi, betapa menyedihka dirinya. Orang yang pandai menjawab begitu banyak pertanyaan, sekarang bahkan tidak berani menjawab pertanyaan diri sendiri. Ia menulis tentang kemerdekaan, tapi ia sendiri tidak pernah berani melakukannya secara kongkret. Ia selalu menghindari, lari dari pertempuran dengan alasan ada jalan keluar lebih baik. Ia tidak pernah memimpin perlawanan seperti Syekh Yusuf yang masyhur dan tercatat namanya dalam sejarah. Ia juga tidak seperti Syekh Raniri yang menunaikan perlawanannya dengan harga seluruh sekolah dan keluarganyanya binasa. Ia pengecut. Ia selalu lari. Tidak sedetik pun ia hadir dalam pertempuran melawan penjajah.

Tapi malam itu, kelasi yang pendiam itu berhasil mencungkil penjelasan tersebut. Ambo Uleng, dengan wajah yakin menggenggam tangan Gurutta, berkata perlahan, “Gurutta, aku masih ingat ceramah Gurutta beberapa hari lalu di masjid kapal. Lawanlah kemungkaran dengan tiga hal. Dengan tanganmu, tebaskan pedang penuh gagah berani. Dengan lisanmu, sampaikan dengan perkasa. Atau dengan benci di dalam hati, tapi itu sungguh selemah-lemahnya iman.”

“Ilmu agamaku dangkal Gurutta. Tapi malam ini, kita tidak bisa melawan kemungkaran dengan benci dalam hati atau lisan. Kita tidak bisa menasihati perompak itu dengan ucapan-ucapan lembut. Kita tidak bisa membebaskan Anna, Elsa, Bonda Upe, Bapak Soerjaningrat, dan seluruh penumpang dengan benci di dalam hati. Malam ini kita harus menebaskan pedang. Percayalah Gurutta, semua akan berjalan baik. Kita bisa melumpuhkan perompak itu. Aku mohon. Sungguh aku mohon. Rencana ini sia-sia jika Gurutta tidak bersedia memimpinnya.”

Gurutta menyeka pipinya yang basah, menatap kelasi yang bahkan baru beberapa hari lalu bisa shalat dengan genap. Ya Rabbi, anak muda ini, telah memberikan jawaban padanya. Urusan ini, pertanyaan ini, ia tidak akan pernah bisa menjawabnya dengan kalimat lisan, dengan tulisan. Ia harus menjawabnya dengan perbuatan. Saatnya ia menunaikan tugasnya sebagai ulama, yang memimpin di garis terdepan melawan kezaliman dan kemungkaran.

Lenggang sejenak.

Hingga akhirnya Gurutta mengangguk, berkata dengan suara bergetar, “Aku akan menuli pesan berantai itu, Nak. Aku akan ikut kau ke kantin melakukan serangan mendadak. Mari kita hadapi kemungkaran denagn pedang di tangan. Jika kematian menghampiri penumpang di kapal, maka semoga syahid menjadi jalan mereka.”

******
Novel ini memang sarat akan nilai-nilai kehidupan & nilai-nilai islami yang dituangkan dalam bentuk nasihat-nasihat indah dari seorang Ulama Masyhur bernama Gurutta Ahmad Karaeng. Entah sudah berapa kali membaca Novel ini. Saya seperti tidak bosan-bosan. Pokoknya yang belum baca, harus baca ya ^^

******

Kendari, 8 Februari 2016
 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar